ESADH17: IKLAN ROKOK DI INDONESIA SESAT DAN MENYESATKAN

Minggu, 11 September 2011

IKLAN ROKOK DI INDONESIA SESAT DAN MENYESATKAN

JAKARTA (Arrahmah.com) – Aliansi Pengendalian Rokok Asia Tenggara (SEATCA) mengkritik sebuah iklan perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang dinilai menyesatkan. Pasalnya salah satu Iklan rokok di Indonesia seolah mengopinikan bahwa lebih baik mati daripada harus berhenti merokok. Parah!

Iklan pada billboard yang dimaksud itu bertuliskan “Lebih baik pulang nama daripada tinggalkan teman” dan tulisan terpisah yang masih dalam satu tema “Sam****** Teman yang Asyik” .

Ini dinilai sebagai bentuk iklan yang tidak bertanggungjawab dan PT PMI sebagai perusahaan pemilik untuk menjelaskan hal ini.

“Sangat tidak bertanggung jawab, sesuatu yang mengerikan bahwa tujuan (iklan) itu adalah untuk penjualan rokok. Ini sangat lucu menyebut produk berbahaya yang mematikan sebagian penggunanya itu sebagai ‘teman’,” ucap Direktur Seatca Bungon Ritthiphakdee, Jumat (26/8/2011) di Bangkok.

Bungon menjelaskan iklan ini secara jelas ditujukan bagi kaum muda. Sekitar 12 perrsen kaum muda Indonesia yang berusia 13-15 tahun telah mengonsumsi rokok. Sekitar 70 persen perokok memulai kebiasaannya merokok sebelum usia 19 tahun.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif terbesar di antara negara-negara ASEAN yakni 57 juta perokok. Seatca mencatat setiap tahun lebih dari 200ribu orang Indonesia meninggal karena penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok.

Lebih lanjut, Seatca melihat PT Sam****** memasang papan iklan itu selama bulan Ramadhan yang merupakan saat umat muslim mengurangi/tidak bisa merokok. Seatca menilai hal tersebut menunjukkan perusahaan rokok itu memiliki ide aneh bagaimana bulan Ramadhan seharusnya diisi, dengan merokok. Karena itu, hal itu dinilai tidak sesuai dengan aktivitas umat muslim di Indonesia saat bulan Ramadhan.

“Pemerintah Indonesia seharusnya bertindak segera dengan menurunkan iklan dan PT Sam****** harus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia akan tindakannya,” ucap Bungon.

Ironisnya pada acara ASEAN Regional Workshop on Implementing WHO-FCTC Article 13 Guidelines pada Juni 2011 kemarin di Siem Reap Kamboja, Indonesia adalah satu-satunya negara yang tak hadir menandatangani protokol konvensi pengendalian rokok. Sementara itu, Negara ASEAN lainnya telah menandatanganinya sejak 2004.

Tanpa meratifikasi, Indonesia menjadi negara paling mudah dan terbuka dalam iklan, promosi, dan penjualan rokok secara besar-besaran. Pasalnya, di negara lain, penjualan rokok telah dibatasi dan tidak bisa dilakukan terbuka. Bahkan dalam kemasan rokok juga berisi gambar berbagai penyakit seperti kanker yang diakibatkan mengonsumsi rokok.

Bungon memaparkan PT PMI, pemilik perusahaan rokok terbesar di Indonesia itu, memiliki pendapatan tahunan 27 miliar dollar AS yang 7,3 miliar diantaranya dari negara Asia. Pengangkutan rokok PMI ke Asia meningkat 24,8 perrsen atau sekitar 282 miliar unit pada 2010. Antara 2009-2010 pendapatannya dari wilayah Asia meningkat lebih dari 38 persen.

Saat Indonesia berjuang menyembuhkan warganya dari sakit dan menghitung kematian warganya akibat rokok, keuntungan PMI atau Sam****** di Indonesia meningkat dan menjadi pasar terbesar (30 persen). Terjual 32 juta miliar batang rokok pada 2010. Di Indonesia, biaya kesehatan yang terkait penyakit terkait merokok mencapai Rp 11 triliun atau 1,2 miliar dollar AS setiap tahun.

Hal tersebut jelas menampakkan betapa kebijakan pemerintahan Indonesia tidak memperdulikan kepentingan rakyat, tetapi lebih pro kapitalis. Pasalnya jika pemerintah ‘peduli’ terhadap rakyatnya maka kebijakan pembatasan rokok demi generasi mendatang pasti telah dilakukan sejak lama. tetapi pada kenyataannya, pemerintah jauh lebih tertarik dengan cukai rokok yang menyumbang dana besar pemasukan negara.

“Lebih baik membiarkan rakyat miskin dan sekarat daripada harus kehilangan ladang yang menghembuskan asap uang”, mungkin itu kata petuah yang dijadikan dasar kebijakan di negeri ini. Wallohua’lam. (kom/arrahmah.com)
Beranda
Copyright © ESADH17 Urang-kurai